Rabu, 22 Oktober 2008

BLBI II atau Murni Bailout???

Bank Indover, anak perusahaan Bank Indonesia yang berada di Belanda dibekukan mulai 7 Oktober 2008 setelah menglami kesulitan likuiditas akibat penurunan secara drastis money market line sebagai dampak dari gejolak pasar keuangan global yang terjadi dewasa ini yang melanda kawasan Eropa.

Kesulitan likuiditas yang dialami Indover Bank diperkirakan tidak akan dapat diselesaikan dalam jangka pendek. Hal itu mengingat tingginya ketidakpastian berlangsungnya keketatan likuiditas di pasar uang global sehingga meningkatkan counterparty risk di pasar uang antar bank secara global.

Kondisi seperti ini membuat Bank Indonesia mengajukan penambahan atau penyertaan dana sebesar 546 juta euro atau setara dengan Rp 7 triliun untuk dipergunakan membeli kembali semua kewajiban-kewajiban pihak ketiga Indover Bank di luar BI. Langkah ini merupakan langkah paling kredibel dari sudut pandang pasar, sehingga dapat memperbaiki persepsi sovereign default yang telah dikenakan kepada Indonesia dan memungkinkan untuk terpenuhinya seluruh kewajiban Bank Indover yang berarti proses kebangkrutan dapat dihindari.

Hasil yang diharapkan dari dana tambahan tersebut adalah:
1.Terhindarnya perekonomian nasional dari risiko sistemik serta contagion effect (efek menular) terhadap sistem perbankan nasional dan pada gilirannya mampu memulihkan kembali kegiatan sektor riil.
2.Pulihnya kepercayaan pasar internasional terhadap sistem keuangan dan pasar domestik sehingga menurunkan premi credit default swaps (CDS), membaiknya sovereign rating Indonesia, menghindari terjadinya flight to quality atau pelarian dana asing dan domestik dan pulihnya kembali line untuk pembiayaan internasional.
3.Terhindarnya pemerintah RI dan BI dari risiko reputasi di pasar global.

Ketiga hasil yang dharapkan tersebut memang rasional, mengingat saat ini beberapa bank di Indonesia sesuai Road Map API 2020 masuk menjadi Bank Internasional. Dalam hal ini reputasi dan likuiditas perbankan Indonesia harus dijaga.

Semoga langkah drastis BI ini tidak menjadi bailout ala Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sehingga akan mengakibatkan negara kita mengalami BLBI yang ke II. Sedang masalah BLBI ke I sampai dengan saat ini masih belum terselesaikan. Karena bank indover juga dipakai oleh tiga bank terbesar di Indonesia untuk dana pinjaman antar bank, ditakutkan bail out ini hanya sekedar untuk menyelamatkan kepentingan ketiga bank terbesar tersebut.

Senin, 13 Oktober 2008

Don't Panic...!!!

Penutupan Bursa Efek Indonesia selama 2 hari (kamis-jumat, 9&10 oktober 2008) membuat panik masyarakat Indonesia. Informasi simpang siur dan keterbatasan pengetahuan tentang perekonomian makro dikalangan masyarakat semakin memicu kepanikan. Anggapan bahwa ekonomi negara kita akan mengalami lagi krisis seperti tahun 1997 semakin gencar.

Sebaiknya kita lihat dulu inti permasalahan dan kondisi yang sebenarnya. Di AS lebh dari 60% dari total rakystnya berinvestasi di pasar saham. Di Indonesia hanya segilintir masyarakat saja, bahkan kurang dari 1juta orang yang benvestasi langsung di bursa saham. Sisanya bernvestasi tdak langsung, seperti reksa dana, dan campuran reksa dana dengan saham hanya bernilai 30 trilliun.

Fundamental ekonomi secara makro pun juga terlihat masih cukup normal, terlihat dari sejumlah indikator, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, fluktuasi kurs, cadangan devisa, dan neraca perdagangan. Rata-rata nilai tukar dollar memang turun sangat drastic, namun masi relative lebh rendah dibanding Negara-negara lain.

Industri perbankan sebagai gerbang untuk transmisi krisis juga dalam keadaan baik. Jadi sebaiknya pemerintah focus pada perbankan. Sector perbankan bias menjadi pemicu krisis ekonomi karena sektor ini sangat mendominasi dalam stabilitas keuangan nasional.

Likuiditas yang ketat menyebabkan naiknya suku bunga, kredit macet dan ujung2nya terjadi rush karena tidak ada kepercayaan masyarakat kepada perbankan, sehingga sektor riil susah mendapatkan kredit. Baik untuk mendapatkan kredit baru, refinancing hutang, kegiatan operasional maupun ekspansi.

Dengan memperketat impor barang jadi dan mencegah barang mpor ilegal pasti akan memacu pembangunan infrastruktur, dan insentif pajak untuk perusahaan yang berorientasi ekspor seperti tekstil, idnsutri hilir, dan industri padat karya.

Kemungkinan dengan lebih memperhatikan hal-hal tersebut perekonomian negara kita tidak akan terlalu terpengaruh oleh krisis yang dialami AS dan eropa. Cintailah produk dalam negri itu solusi yang tepat untuk stabilitas perekonomian negara.

Sabtu, 11 Oktober 2008

Buy Back Saham BUMN???

Presiden menginstruksikan BUMN membeli kembali (Buy Back) saham sebanyak-banyaknya untuk menyelamatkan pasar. Apakah ini langkah efisien bagi negara kita??? Apakah langkah ini bisa mengembalikan kepercayaan para pelaku pasar???

Instruksi itu menunjukkan betapa seriusnya pasar modal kita telah ditinggal para pelaku pasar. Tetapi dengan membeli kembali saham sebanyak-banyaknya akan membuat perusahaan go private, apalagi dalam sejarah belum pernah ada pemerintah yang menang melawan pasar.

Enam langkah yang dilakukan pemerintah untuk penyelamatan bursa:
1.Penghapusan aturan mark to market untuk surat utang yang dimiliki perbankan.
2.Pelonggaran aturan terkait buy back oleh seluruh emiten di bursa.
3.Penambahan likuiditas melalui pencairan anggaran dari kementrian dan lembaga.
4.Pembelian saham BUMN yang terkoreksi tajam meski memiliki fundamental yang baik melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP)Depkeu.
5.Penegakan hukum oleh Bapepam dan Self Regulatory Organization terhadap para pelaku pasar yang telah melanggar aturan-aturan.
6.Bapepam memperkenankan dana pensiun mengklasifikasi obligasi dan surat berharga pemerintah ke dalam kelompok yang dimliki hingga jatuh tempo tahun buku 2008.

Enam langkah tesebut diharapkan mampu menciptakan suasana kondusif tidak hanya di pasar bursa saham, tapi juga di sistem perbankan dan sektor keuangan.

Dari 11 BUMN di bursa setidaknya ada 6 BUMN yang memiliki kemampuan, yakni PT Telkom, PT Aneka Tambang, PT Bukit Asam, PT Semen Gresik, PT Perusahaan Gas Negara, dan PT Jasa Marga. PT Telkom telah memiliki izin untuk melakukan buy back dan dia paling siap melakukannya senilai Rp3 trilliun.

Namun efektivitas buy back diragukan sejumlah kalangan, termasuk saya sebgai penulis dan pemerhati berita2 ekonomi. Pasalnya, jumlah likuiditas yang teredia relatif kecil jika dibandingkan dengan dana yang hilir mudik di pasar modal.

Kita lihat fakta yang ada di lapangan dalam kondisi normal transaksi bisa mencapai Rp3 trilliun perhari, apalagi dalam situasi gonjang ganjing seperti sekarang ini? Transaksi bisa mencapai dua kali lipatnya atau bahkan bisa 3 kali lipatnya. Bisa kita bayangkan, dana pemerintah akan langung ludes begitu saja.

Fenomena ini sepertinya hanya sebagai pemadam kebakaran sesaat, untuk jangka pendek langkah ini mungkin bagus agar para investor tidak terlalu panic, tetapi bagaimana dengan jangka panjang????

Kembali bersandar kepada kekuatan strategis BUMN mestinya menjadi langkah yang kongkret jangka panjang. Sangat penting bagi kita memiliki BUMN yang sehat dan kuat dan saham mayoritas milk pemerintah sehingga dapat diandalkan sebagai penyangga darurat yang kuat.

Jangan sampai kejadian INDOSAT terulang kembali, saat itu kita bangga dengan Indosat yang go public di bursa New York, tetapi kemudian di privatisasi oleh Singapura. Seharusnya kejadiian tersebut tidak terjadi jika dicapai keseimbangan antara kekuatan kapitalisme dan etatisme.

Semoga langkah pemerintah kali ini tidak salah dan keadaan ekonomi negara kita tidak semakin memburuk mengingat cadangan devisa Negara terus menerus tergerus.

Krisis Keuangan Yang Dahsyat

Krisis keuangan yang dialami AS saat ini ibarat gunung berapi yang meletus dikarenakan sudah tidak mampu menahan lagi lahar panas yang menumpuk dipuncaknya. Lahar panas keuangan dunia dimotori sektor perumahan AS (Subprime Mortgage) tahun 2001.

Perumahan laku keras karena ditopang pinjaman dengan suku bunga yang sangat rendah. Suku bunga di patok bank sentral AS, bahkan mencapai 1%. Pembeli rumah pada awal tahun 2000-an untung. Setelah dibeli tidak lama kemudian harga melambung tinggi. Juli 2006 puncak harga rumah menjadi 230.200 dollar AS (sekitar Rp 2,070 Miliar), sedang pada awal 2000-an harga rumah hanya 125.000 dollar AS.

Keuntungan 50% dalam 5th untuk negara2 yang inflasi berada dibawah 3% merupakan suatu yg besar dan dahsyat. Bandingkanlan dengan tingkat keuntungan jika menyimpan uang di bank???? Tidak akan bisa lebh dari 3% setahunnya. Hal inilah yang membuat warga AS berbondong2 membeli rumah tidak hanya untuk sarana tempat tinggal tapi untuk sarana investasi.

Warga yang membeli rumah ditawari bank dengan agunan rumah yang masih dicicil. Lebih buruknya lagi pada awal 2000-an terjadi fenomena, dengan membeli rumah bisa kaya mendadak. Warga yg membeli pada awal2 bisa menjual dengan harga tinggi, sehingga selain untung yg didapat tetapi pinjaman di bank jugabisa lunas.

Fenomena tersebut mendorong bank-bank di Eropa ikut member pinjaman, lembaga perbankan berlomba-lomba memberikan pinjamannya. Sehingga terjadilah penumpukan pinjaman bank senilai 1 trilliun dollar AS di perumahan AS. Inilah lahar panas yang memuncak.

Kemudian tahun 2006 harga rumah-rumah tidak bisa naik lagi, sehingga pembeli di akhir2 harus dihadapkan pada cicilan rumah dan pinjaman bank. Ditambah lagi penurunan di sector eknomi sehingga Terjadilah penumpukan gagal bayar disektor perumahan AS dan meledak di September 2008 ini.

Lebih buruknya lagi... krisis ini juga berdampak pada seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Banyak negara2 lain sektor perekonomiannya terpuruk karena krisis AS ini. karena negara2 ini sangat bergantung pada pergerakan harga dollar AS.